Konon bisnis vanili sangat mentereng. Komoditas sempat menjadi tanaman perkebunan termahal di dunia, dengan angka mencapai Rp. 6.000.000/kg. Lalu, apakah ada pekebun atau trader vanili kemudian mendadak menjadi oligarki?
Berdasarkan pengamatan kami , kelapa sawit, kopi, kakao dan kelapa adalah yang sah mencetak banyak petani kaya dan para konglongmerat. Khususnya komoditas kelapa sawit. Jika Anda bertemu dengan petani kelapa sawit maka tidak sulit mendapat mereka memiliki kendaraan fortuner atau pajero, rumah mewah dan juga mungkin lebih dari 1 istri. Hal yang jarang kami jumpai pada petani vanili meskipun mengklaim mengelola ratusan ha kebun.
Mengapa demikian?
Jawabannya sederhana, karena untuk vanili stakeholder kita hanyalah penggembira, price taker, penyedia barang mentah meskipun Indonesia adalah produsen terbesar kedua setelah Madagaskar. Petani Indonesia sangat jarang berhubungan langsung dengan pembeli besar di luar negeri. Umumnya ditenggarai pedagang. Produk turunan seperti ekstrak vanili, pasta serta vanili kering dengan brand masih sangat jarang. Koperasi vanilipun tidak banyak tumbuh berbeda pada perkebunan kelapa sawit.
Kondisi ini mengakibatkan harga pembelian vanili basah dan kering naik turun. Meskipun harga ekstrak, pasta vanili dan barang-barang kebutuhan untuk industri makanan dan kosmetik tidak berubah, bahkan cenderung meningkat. Uniknya lagi ketika harga meningkat, maka menjamur trader “sekali pukul”. Sekedar mendapatkan keuntungan cepat dalam jangka pendek, sebelum harga kembali turun. Merekalah yang kadang memprovikasi banyak petani menanam sebanyak-banyaknya. Tujuannya agar saat setok banyak harga akan dimainkan.
Tentu model ini tidak berkelanjutan, karena trader maupun petani tidak berusaha memperbaiki kualitas produk melalui peningkatan kompetensinya terkait vanili. Ini diperparah dengan tidak adanya aturan wajib SNI untuk vanili yang diekspor, sehingga mutu apapun termasuk hasil jarahan bisa bebas keluar dari Indonesia tanpa sanksi.
Sehingga wajar tidak ada pemain vanili yang menjadi konglongmerat lalu menjadi origarki dan petani vanili seperti rekannya pekebun sawit di Sumatera atau Kalimantan. Karena bisa jadi keuntungan yang kita nikmati hanya porsi kecil, kurang dari 20 % dari bisnis vanili secara total. Lalu siapa yang paling beruntung? Tidak lagi processor atau pedagang di luar negeri yang memahami betapa luar biasanya vanili asal Indonesia, yang sering mereka beli murah dengan berbagai dalih. Tidak bersertifikat atau kualitas tidak standarlah. Kita mengiyakan karena kurangnya kompetensi.
Mudah-mudahan ada perubahan prilaku usaha dan serta kebijakan yang membuat bisnis vanili lebih berkelanjutan.
- Details
- Hits: 735
Page 2 of 140