Banyak beranggapan bahwa pengembangan cluster perkebunan harus dengan pendekatan hamparan dan harus terintegrasi dengan industri besar. Namun ternyata pengembangan kawasan perkebunan bisa diterapkan berbasis desa.

Demikian menurut pengamat perkebunan, Gamal Nasir. Pengembangan cluster dengan pendekatan hamparan dengan luasan yang cukup besar dan terintegrasi dengan industri besar adalah langkah yang ideal. Namun saat ini semakin sulit melakukan pengembangan demikian dengan keterbatasan lahan untuk perkebunan.

“Saya melihat ada potensi pengembangan cluster berbasis desa dengan memanfaatkan kebun-kebun yang sudah ada termasuk tanaman perkebunan di pekarangan masyarakat. Jika populasi tanamannya cukup memadai maka tinggal mengembankan industri pengolahan berbasis rumah tangga untuk hasilkan produk setengah jadi, atau produk jadi”, jelas Gamal.

Ia mencontohnya kampung kopi, dimana masyarakatnya adalah mayoritas petani yang memiliki kebun dengan luasan berkisar 0,5 sampai 1 ha, dapat melakukan pengolahan secara kolektif atau tingkat rumah tangga. Lalu sejumlah rumah tangga mengembangkan usaha cafe, penjualan bubuk kopi. Di kawasan tersebut kemudian dikembangkan juga agrowisata, usaha pembibitan serta pusat edukasi.  Dalam kaitan tersebut pengembangan cluster tersebut pendirikan koperasi mutlak harus dilakukan.

“Pengembangan cluster berbasis desa ini dalam diinsiasi oleh pemeritnah daerah, BUMDES, koperasi dll. Diawali dengan pendataan terhadap populasi tanaman yang ada, potensi usaha rumah tangga terkait dan  peluang agrowisata, dll. Kemudian ditindaklanjuti dengan penumbuhan koperais, penguatan SDM pedesaan, penumbuhan UMKM maupun memfasilitasi kemitraan dengan swasta”, jelas pakar perkebunan tersebut.

Hanya dalam kenyataan saat ini pengembangan cluster selalu dianggap harus diawali dari pengembangan kebun dengan luasan skala tertentu. Ketika sudah terbangun baru pengembangan hilir dilakukan. Jelas langkah seperti ini akan memakan waktu.