Ternyata pada April 2024 yang lalu terjadi penurunan supply vanili dari Madagaskar akibat terjadinya badai di negara tersebut. Diperkirakan produksi tanaman rempah tersebut akan mengalami penurunan hingga 50 percent.
Pihak yang berwenang memperkirakan produksi vanili hanya sekitar 1,000 ton dari potensi tahunan sekitar 2000 ton . Sehingga kondisi ini berpotensi meningkatkan harga global.
Tentu ini menjadi peluang bagi Indonesia memanfaatkan momentum. Faktanya Indonesia merupakan produsen terbesar kedua dengan sharet market 12%.
Lalu pertanyannya mengapa saat ini (13/6) harga pembelian vanili di Indonesia tidak begitu menarik?
Pertama, Indonesia belum diperhitungkan menjadi negara penghasil vanili premium. Sehingga buyer utama tidak secara langsung melakukan pembelian ke Indonesia dan lebih memilih memanfaatkan broker.
Kedua, masih sangat sulit mendapatkan vanili yang terstandarisasi dalam jumlah besar. Mutu yang ada di petani umumnya masih banyak yang meragukan. Mulai dari kadar vanilin yang rendah, adanya kandungan kimia berbahaya serta proses pengolahan tidak sesuai standar keamanan pangan.
Ketiga, belum ada brand terkemuka untuk vanili asal Indonesia. Serta masih langka produk turunan tanaman rempah tersebut dari Indonesia.
Seorang buyer pernah memberikan jawaban mengapa enggan membeli vanili asal Indonesia. “ Kami memproduksi produk makanan berkualitas tinggi. Lalu bagaimana kami berani membeli produk yang kami tidak yakini keamanan. Belum lagi saya pernah melihat video pengolahan vanili asal Indonesia yang tidak menggunakan peralatan yang bersih dan kurang memperhatikan aspek kebersihan Isunya lagi vanili Indonesia banyak dicampur oli dan benda asing”, jelasnya.