Banyak pekebun yang tertarik menanam vanili hanya berdasarkan informasinya dari berita atau menurut cerita dari seseorang. Hanya saja, belajar dari pengalaman pengembangan berbagai komoditas, pengembangan komoditas tanpa perhitungan yang matang bisa berakhir dengan kerugian. Seperti halnya dengan salah satu komoditas pangan yang mendadak menjadi viral dan seketika yang melakukan pengembangan meskipun tidak tahu secara pasti perusahaan mana yang akan menampung. Saat ini kabarnya harga dari komoditas yang kabarnya diekspor ke Asia Timur tersebut drop dan petani yang terlanjur mengembangkan merana.
Lalu bagaimanakah cara mengembangkan vanili yang masuk akal?
Pertama, Vanili Indonesia memperkirakan bisnis vanili akan tetap menarik 3 sampai dengan 5 tahun mendatang dengan kenyataan saat ini banyak regulasi di luar negeri yang mulai membatasi penggunaan vanili sintetik dan kewajiban perusahaan untuk menggunakan vanili alami jika dalam kemasan disebutkan menggunakan natural vanilla. Hanya peluang tersebut harus disikapi dengan strategi yang jitu.
Saat ini faktanya kebanyakan petani terhubung dengan orang yang mengklaim sebagai eksportir atau buyer. Namun kenyataanya tidak. Pasalnya, dengan kondisi pengembangan vanili secara spot-spot, mustahil pembeli dari luar negeri berminat meyambangi petani lalu membeli dalam partai kecil dengan mutu beraneka macam. Oleh sebab itu Vanili Indoensia sangat menyarankan pengembangan vanili berbasis kawasan atau desa. Sehingga dalam satu lokasi terbangun populasi vanili hingga puluhan ribu hingga ratusan ribu tanaman. Kemudian pengelolaanya dilakukan secara kolektif oleh koperasi atau Badan Usaha Milik Desa.
Kedua, salah satu masalah utama yang dihadapi petani vanili adalah pencurian buah dan tanaman. Penanaman di kebun menjadi sangat beresiko yang tinggi mengalami kehilangan. Menyikapi hal tersebut Vanili Indonesia menyarankan pengembangan vanili berbasis pekarangan. Adapun setiap KK di satu desa atau kelurahan menanam 10 sampai dengan 20 batang. Jika terdapat ada 100 KK maka akan diperoleh populasi 2000 batang dengan potensi produksi hingga 2 ton kering dengan potensi pendapatan Rp. 2 Milyar.
Ketiga, dengan pengembangan secara kolektif maka petani dapat diwajibkan menerapkan SOP budidaya dan pasca panen Sehingga mutu hasil dapat distandarikan dan produksi yang diperoleh cukup tinggi.
Keempat, setiap pelaku usaha wajib berada ekosistem vanili yang terdiri atas buyer, peneliti, dengan pemerintah atau pihak non partisan sebagai fasilitator. Tanpa bergabung dalam jaringan stakeholder vanili maka besar kemungkinan pekebun akan kesulitan memasarkan hasil dan buta akan tata niaga. Sehingga pada akhirnya harus menjual hasil kebunnya kepada pihak broker yang tidak bertanggung jawab dengan harga sangat murah.