Ternyata kondisi melesatnya harga vanili global tidak lepas dari adanya interaksi supply demand. Sementara pada tahun-tahun sebelumnya peningkatan harga vanili lebih disebabkan adanya aktivitas kartelisasi dan intervensi perdagangan di Madagaskar. Lalu apa yang berbeda dengan terjadi 10 tahun 8 tahun terakhir.

Setidaknya hukum supply demand berperan pada kenaikan harga saat ini. Berdasarkan kajian  para  peneliti dari  Qilu University of Technology, Zhejiang Normal University dan Qingdao University Cina memperlihatkan bahwa  kenaikan harga vanili sudah berlangsung pada tahun 2014 dan puncaknya terjadi pada 2018. Selama masa itu mencapai harga sampai $600 per kilogram yang diakibatkan kenaikan global dan penurunan supply akibatkan rendahnya harga pada era sebelumnya.

Hal ini diakibatkan adanya kebutuhan dari perusahaan multinasional yang meninggalkan vanili sintetik dan lebih memilih vanili alami. Sementara penurunan produksi global dari 1200 ton pada tahun 2015 dari 1800 ton pada tahun sebelumnya mengakibatkan kenaikan harga yang pesat. Salah satu faktornya terjadinya badai yang mengakibatkan kerusakan perkebunan vanili khususnya di Madagaskar dan mengakibatkan harga vanili mencapai $600 per kilogram pada bulan Mei 2018 lebih mahal dari perak.

Namun saat ini terjadi penurunan harga karena terjadi peningkatan supply vanili dari Papua New Guini, Indonesia dan Tahiti. Selain itu adanya praktek penjualan vanili muda untuk menghindari pencurian memacu penurunan kualitas serta harga.  

Tentu kedepannya harus ada interaksi langsung antara produsen dengan pengguna vanili dengan kesepakatan harga yang relatif stabil dengan mempertimbangkan harga pokok produksi. Dengan adanya relasi seperti ini maka bisnis vanili dapat lebih sustainability dibandingkan saat ini yang mana dikuasai oleh pemain besar dan kartel, sementara pengguna vanili tidak seluruhnya perusahaan besar melainkan juga industri kecil menengah di Eropa maupun Amerika.